Oleh: Steve Sean Samuel | XIA.1.2.1
Minggu pagi, 28 September 2025, suasana Palembang berubah menjadi arena perayaan olahraga. Ribuan pasang kaki berderap di jalanan ibu kota Sumatera Selatan, mengikuti Musi Half Marathon, ajang lari bergengsi yang menawarkan kategori 5K, 10K, dan 21K. Dari stadion megah Jakabaring Sport Center hingga ikon Jembatan Ampera, rute lari ini seakan menjadi cara baru mengenal kota: lewat keringat, napas terengah, dan semangat pantang menyerah.
Bagi sebagian peserta, lomba ini adalah soal podium dan hadiah. Panitia menyediakan total jutaan rupiah bagi pemenang di tiap kategori:
Namun bagi Steve, salah satu pelari kategori 21K, tujuan utamanya bukan hadiah. “Saya ikut bukan untuk mengejar podium. Saya ingin mengejar Personal Best dan pengalaman. Kali ini target saya sub-1:50, tapi harus puas di 1:52 karena cedera di kilometer 20,” ceritanya.
Meski gagal memenuhi target pribadi, pengalaman ini tetap berharga. “Yang terpenting bukan hanya angka di jam tangan, tapi relasi yang terjalin dan cerita yang dibawa pulang,” tambahnya.
Catatan Waktu Para Pelari
Di kategori 21K Umum, rekan-rekan Steve turut berjuang melawan panas dan panjangnya rute:
Sementara di kategori 10K, tiga pelari lainnya berhasil menuntaskan lomba dengan catatan waktu:
Menyusuri Palembang Lewat 21 Kilometer
Rute 21K dimulai pukul 05.15 pagi. Dari Stadion Jakabaring, para pelari bergerak menuju bundaran besar, menyeberangi Jembatan Ampera yang legendaris, lalu melewati Masjid Agung, Kantor Walikota, hingga berputar balik di kawasan Cinde. Perjalanan belum selesai: mereka masih harus berlari ke arah Lemabang, sebelum akhirnya kembali ke titik awal di Jakabaring.
Bayangkan: deru napas berpacu dengan detak jantung, diiringi panorama kota yang perlahan terbangun di bawah cahaya mentari. Setiap langkah bukan sekadar mengukir jarak, melainkan juga kisah—kisah persahabatan, ketahanan fisik, dan semangat hidup.
Lebih dari Sekadar Angka
Musi Half Marathon bukan hanya tentang siapa tercepat, tapi juga tentang siapa yang paling kuat melawan dirinya sendiri. Steve dan kawan-kawan mungkin tidak naik podium, tapi mereka pulang dengan sesuatu yang lebih berharga: kebanggaan telah menaklukkan rute panjang, keberanian melawan keterbatasan, serta persahabatan yang lahir di sepanjang jalan.
Dan mungkin, di situlah esensi lari sejati: bukan soal siapa yang lebih dulu sampai, melainkan soal bagaimana setiap orang berjuang sampai garis akhir.*** (Ignas)