Di tengah kesibukan siswa kelas XI SMA Xaverius 1 Palembang, ada seorang remaja yang punya cara unik menenangkan pikirannya, bukan lewat game, bukan pula lewat jalan-jalan ke mal, tapi lewat denting lembut tuts piano. Namanya Athar Dimitri Putra, seorang pianis muda yang baru saja tampil dalam lomba Piano Ensemble di Medan, 12 Oktober 2025.
“Saya ikut kategori piano ensemble, Pak,” katanya. “Yang saya kenal dari Bangau ada Gilbert dan Petra, mereka kelas X.”
Nada suaranya ringan, tapi di balik itu tersimpan kebanggaan sederhana: bisa berdiri di panggung yang sama dengan teman-teman sejiwa, mengalirkan musik bersama.
Dari Lagu Klasik ke Lagu Hati
Athar mulai belajar piano sejak SD. Ia tak begitu ingat lagu pertama yang bisa dimainkan dengan lancar, tapi satu hal yang jelas: dari dulu ia jatuh cinta pada musik klasik. “Saya memang ambil kursus piano klasik,” ujarnya. Disiplin, teliti, dan tekun, tiga hal yang diam-diam ia pelajari dari Beethoven dan Chopin, bukan hanya untuk bermain, tapi juga untuk hidup.
Namun, bukan berarti Athar hidup dalam dunia nada yang kaku. Ketika tugas sekolah menumpuk atau kepala terasa penuh, ia menenangkan diri dengan lagu-lagu pop. “Biasanya lagu Ari Lasso atau Chrisye,” katanya.
Ada sesuatu yang hangat di situ, perpaduan antara keindahan klasik dan sentuhan pop yang membumi, seperti dirinya: sederhana tapi tulus.
Panggung Terakhir yang Berkesan
Tahun ini mungkin menjadi lomba terakhir yang diikutinya. Karena itu, setiap detik di Medan terasa istimewa.
“Yang paling berkesan itu bisa tampil dan ngobrol sama teman-teman dari sekolah musik,” katanya. “Saya juga dapat pengalaman pengajaran dan saran dari guru-guru musik. Hal-hal itu saya harap bisa berguna buat masa depan saya.”
Kalimat itu mengalun seperti nada terakhir dari sebuah sonata yang indah, lembut, matang, dan penuh makna.
Athar tak sekadar memainkan piano; ia memainkan hidupnya dengan tempo yang pas: tidak terburu, tapi juga tidak ragu.
Lebih dari Sekadar Juara
Bagi sebagian orang, juara adalah segalanya. Tapi bagi Athar, kemenangan sejati adalah belajar dari setiap panggung, dari guru, dari teman, dan dari dirinya sendiri.
Setiap tuts piano yang ia tekan adalah cermin dari proses panjang: latihan, kesabaran, dan cinta pada musik itu sendiri.
Di usia muda, Athar sudah memahami satu pelajaran penting: bahwa musik bukan hanya tentang suara, tapi juga tentang jiwa yang mendengarkan.
Kadang, dalam setiap lomba, kita tak hanya mencari siapa yang paling cepat atau paling sempurna menekan tuts. Kita mencari mereka yang memainkan musik dengan hati, seperti Athar. Karena pada akhirnya, yang paling diingat bukan hanya bunyi piano, tapi keheningan yang tertinggal setelahnya.*** (Ignas)