Di antara sekian banyak pertanyaan yang sering muncul di ruang seminar, kelas, atau pelatihan menulis, ada satu yang paling sederhana tapi paling dalam: “Apakah menulis itu bakat bawaan, atau bisa dipelajari?”
Pertanyaan ini seperti cermin: ia memantulkan keraguan banyak orang terhadap dirinya sendiri. Betapa sering kita menganggap bahwa menulis adalah hak istimewa kaum cendekia, sastrawan, atau orang-orang yang “pintar bicara dengan pena”. Padahal, tidak ada bayi yang lahir sambil menggenggam pulpen.
Menulis bukanlah monopoli siapa pun. Ia adalah buah dari latihan, kesabaran, dan keberanian. Setiap manusia yang bisa berpikir dan merasa sebenarnya sudah memiliki bibit untuk menulis. Sebab menulis, pada hakikatnya, adalah cara manusia mengabadikan dirinya.
Ketika seseorang menulis surat cinta, catatan harian, atau bahkan status media sosial, di situlah ia sedang menulis, bukan sekadar kata, tapi diri.
Menulis adalah Latihan Kesadaran
Pepatah lama mengatakan, “Bisa karena biasa.” Begitu pula menulis. Ia bukan hanya keterampilan, melainkan kebiasaan yang diolah setiap hari. Menulis satu paragraf setiap pagi, menulis refleksi sebelum tidur, atau menulis ide-ide kecil di sela kesibukan, itulah cara sederhana mengasah pena batin.
Sama seperti otot yang melemah bila tak digerakkan, kemampuan menulis akan berkarat bila jarang digunakan. Latihan kecil yang terus-menerus akan melahirkan keluwesan, kedalaman, dan gaya pribadi seorang penulis.
Menulis adalah proses panjang: dari gagap menjadi lancar, dari takut menjadi berani, dari imitasi menuju orisinalitas.
Membaca: Nafas dari Menulis
Tak ada penulis besar yang malas membaca. Membaca adalah bahan bakar ide, sedangkan menulis adalah mesin pengolahnya.
Setiap bacaan, entah buku, artikel, berita, atau tulisan di media sosial, adalah pintu menuju dunia gagasan orang lain. Dari sanalah seorang penulis belajar memperkaya kata, memperluas pandangan, dan memperdalam rasa.
Bacaan yang baik bukan sekadar menambah pengetahuan, tetapi menajamkan kebijaksanaan. Ketika kita membaca karya orang bijak, kita sedang berdialog dengan pikiran yang hidup; ketika kita menulis sesudahnya, kita sedang menyalakan obor yang sama dengan cahaya baru.
Maka antara menulis dan membaca, harus ada keseimbangan. Penulis yang tidak membaca akan kehabisan gagasan, sementara pembaca yang tidak menulis akan kehilangan arah dalam pikirannya sendiri.
Kegagalan adalah Guru yang Tulus
Dalam dunia menulis, tidak ada karya sempurna. Bahkan penulis hebat pun selalu menemukan hal yang ingin diperbaiki dari tulisannya sendiri.
Tulisan yang ditolak oleh media bukan akhir segalanya; ia adalah cermin yang menuntun kita melihat apa yang perlu dibenahi. Sama seperti pisau yang harus diasah berulang kali untuk tajam, demikian pula tulisan.
Setiap kegagalan adalah kesempatan untuk bertumbuh. Ia mengajarkan ketekunan, kesabaran, dan keteguhan hati. Penulis sejati adalah mereka yang tidak berhenti pada kegagalan pertama, kedua, atau kesepuluh.
Kiat Menulis dari Dalam Diri
Prof. Chang mengajarkan bahwa menulis bukan hanya soal teknik, tapi juga soal sikap hidup.
Ada beberapa kebajikan yang membentuk seorang penulis sejati:
Menulis bukan hanya soal menghasilkan teks, tetapi juga menumbuhkan karakter.
Menulis untuk Menjadi Manusia
Pada akhirnya, menulis bukan sekadar alat komunikasi, melainkan sarana menjadi lebih manusiawi. Dengan menulis, kita belajar berpikir jernih, menyusun logika, mengolah perasaan, dan memaknai hidup. Tulisan bukan sekadar kumpulan kata, tapi jejak perjalanan batin.
Menulis melatih kesabaran, mengajarkan kejujuran, dan menumbuhkan kebijaksanaan. Dalam setiap kalimat yang kita torehkan, sebenarnya kita sedang belajar memahami diri sendiri, dan lewat tulisan itu pula, orang lain belajar memahami kita.
Jadi, bila Anda masih ragu apakah bisa menulis, jawabannya sederhana: Anda bisa, asal mau memulai, membaca, berlatih, dan tidak berhenti belajar.
Sebab menulis, seperti hidup itu sendiri, tidak pernah selesai.*** (Ignas)