Di tengah hiruk-pikuk bangunan sekolah yang kokoh dan megah, terbentang sebuah ruang lapang berwarna hijau: lapangan sepak bola SMA Xaverius 1 Palembang. Bukan sekadar tanah berumput, lapangan ini adalah taman kehidupan, tempat energi, persaudaraan, dan semangat tumbuh setiap hari.
Sebagai seorang arsitek memandangnya, lapangan ini bukan hanya “fasilitas olahraga”, melainkan ruang publik edukatif, a living architecture, yang menyatukan manusia dengan alam, antara aktivitas dan kontemplasi, antara tubuh dan jiwa.

Lapangan sebagai Jantung Sekolah
Bagi Jevon Fernando Hartono (kelas XI A2.2), lapangan ini adalah ruang manfaat yang nyata:
“Lapangan sepak bola sangat berguna bagi siswa, guru, dan karyawan. Kami bisa menggunakannya untuk kegiatan sekolah, lomba, atau sekadar menikmati acara bersama. Saya bersyukur sekolah kami punya lapangan sendiri, karena tidak semua sekolah memilikinya.”
Dari pandangan Jevon, lapangan menjadi ruang demokratis, tempat setiap orang memiliki hak yang sama untuk bermain, tertawa, dan menumbuhkan rasa memiliki. Seperti ruang kota kecil, lapangan sekolah menjadi mikrokosmos dari kehidupan sosial: terbuka, inklusif, dan penuh kemungkinan.
Kebersihan dan Kenyamanan: Arsitektur yang Bernapas
Natalia Suci Handayani (kelas XII A2.2) melihatnya dari sisi lain:
“Lingkungan yang bersih, nyaman, dan terawat berkontribusi pada kesehatan dan kenyamanan siswa serta guru.”
Dari sudut pandang arsitektur berkelanjutan, apa yang dikatakan Natalia adalah inti dari ecological design: bahwa ruang yang baik bukan hanya indah dilihat, tetapi juga menyehatkan jiwa dan raga. Lapangan menjadi paru-paru sekolah, menyalurkan udara segar dan menumbuhkan keseimbangan antara alam dan manusia.

Identitas dan Daya Tarik Sekolah
Bagi Georgius Arthur Prasetyo (kelas XI A1.1.3), lapangan ini memiliki makna emosional dan historis.
“Lapangan itu membuat sekolah kita punya daya tarik tersendiri. Saat pertama kali datang ke SMA Xaverius 1, saya langsung terkesan. Lapangan ini bahkan pernah digunakan untuk lomba usia remaja dan latihan tim Sriwijaya FC.”
Baginya, lapangan adalah ikon sekolah, elemen arsitektur terbuka yang menyapa setiap tamu dengan keramahan visual dan identitas khas Xaverius: disiplin, terbuka, berdaya juang.
Namun, dengan kepekaan seorang calon arsitek sejati, Georgius juga menyadari kekurangannya: garis lapangan dan permukaan tanah yang belum sepenuhnya rata. Sebuah pengingat bahwa setiap ruang, sebagaimana manusia, selalu bisa diperbaiki agar lebih sempurna.
Lapangan Sebagai Ruang Kebudayaan
Dan dari tutur Pascalis Adian Agung (kelas XI A1.2.2), lapangan berubah menjadi ruang simbolik:
“Lapangan ini bukan hanya sebidang tanah, tetapi ruang kebersamaan. Tempat yang menyatukan olahraga, upacara, pertemuan, dan kegiatan sosial. Secara filosofis, lapangan ini melambangkan semesta kehidupan: tempat bagi makhluk hidup untuk tumbuh. Seperti rumput yang hijau karena dipelihara bersama, kebersamaan juga hanya dapat terjaga bila kita mau merawatnya.”
Inilah kalimat yang seolah memahat lapangan itu menjadi karya seni budaya. Dalam pandangan Pascalis, lapangan adalah arsitektur hidup, bukan dinding dan beton yang kaku, melainkan harmoni antara manusia, ruang, dan nilai. Di sanalah para siswa belajar tentang tanggung jawab, kebersamaan, dan cinta terhadap lingkungan.
Rumput Hijau, Cermin Kebersamaan
Bila seorang budayawan menatap lapangan ini dari kejauhan, ia mungkin akan berkata: “Rumput di sana tumbuh karena dirawat, bukan karena dibiarkan.”
Begitulah juga kebersamaan di SMA Xaverius 1 Palembang, ia hidup karena dipelihara oleh semangat gotong royong, disiplin, dan rasa syukur.
Lapangan sepak bola ini bukan hanya arena pertandingan, tetapi juga panggung kehidupan tempat setiap langkah, tawa, dan peluh menjadi bagian dari karya besar: pendidikan yang utuh, yang menumbuhkan manusia seutuhnya, mens sana in corpore sano, jiwa yang sehat dalam raga yang sehat.

Akhir yang Terbuka: Merawat Ruang, Menyemai Masa Depan
Setiap kali matahari sore menyentuh ujung rumput lapangan itu, cahaya keemasan menyapa bangunan sekolah di sekitarnya. Di sana, arsitektur dan budaya bertemu, membentuk puisi ruang yang mengajarkan bahwa keindahan sejati lahir dari keteraturan, kebersamaan, dan kasih pada lingkungan.
Mungkin kelak, ketika generasi berikutnya menjejakkan kaki di sana, mereka tak hanya melihat lapangan sepak bola, tapi melihat cermin diri mereka sendiri, yang belajar mencintai, menjaga, dan menumbuhkan kehidupan, satu langkah demi satu langkah di atas hamparan hijau itu. *** (Ignas)